Ditemukan pasir halus,
dan semen purba di dalam gunung itu. Diduga buatan manusia.
Source : VIVAnews
Situs
megalitikum Gunung Padang
Mesin
pengebor untuk meneliti isi perut Gunung Padang
Di atas Gunung Padang,
pipa itu lurus melesak masuk ke tanah. Lengking suara mesin bor bercampur desau
angin melantun di perbukitan Cianjur, Jawa Barat, pada Jumat pekan lalu.
Seorang lelaki tambun menyimak gerak pipa-pipa itu menembus tanah. Dia berkaca
mata. Rambut peraknya berkibar di tiup angin.
Di
ketinggian 900 meter itu, hujan baru saja reda. Pipa berdiameter 12,5
sentimeter itu baru diangkat.
Lelaki itu adalah Andang Bachtiar. Dia doktor geologi. Andang mengambil batu,
dan material lain tersangkut di selongsong pipa. Benda-benda purba itu seperti
siap menjawab teka-teki di perut Gunung Padang.
Hampir setahun lebih, atau sejak Andang
dan kawan-kawannya terlibat di Tim Peneliti Katastrofi Purba, ada pertanyaan
besar menggelayut: adakah peradaban tinggi tersembunyi di perut gunung itu?
Ini hari kesembilan mereka menembus tanah Gunung Padang. Andang memperhatikan
hasil pengeboran. Di lehernya melingkar loupe, alat bantu melihat
kandungan batuan. Denganloupe, dia memperhatikan batu dan material
berasal dari kedalaman 27 meter.
“Kami pernah menemukan pasir halus,” ujar Andang.
Pasir itu menurutnya bukan hasil bentukan alam. Sortirannya halus, dengan
ukuran sama. “Seperti diayak,” ujarnya menambahkan. Artinya, pasir itu adalah
hasil kerja manusia. Lalu, apa guna pasir di perut gunung itu?
Inilah yang mau dijawab. Gunung Padang adalah salah satu gunung diincar oleh
tim itu. Gunung lainnya adalah Gunung Sadahurip, atau Gunung Putri di Garut,
Jawa Barat. Sadahurip bentuknya sangat simetris, nyaris seperti piramida.
Uniknya, hasil riset geolistrik di Gunung Sadahurip di Garut, Jawa Barat,
menunjukkan struktur serupa dengan Gunung Padang. Ada lapisan batuan yang
bukan buatan alam.
Seorang peneliti, Dr Danny Hilman, mengatakan hasil geolistrik dan georadar itu
yang membuat mereka tertegun. “Dari hasil foto, dan juga georadar, lapisan
batuan itu penuh anomali,” ujar Danny, yang ikut di lokasi pengeboran bersama Andang.
Itu sebabnya, untuk membuktikan hasil geolistrik dan georadar itu, dilakukan
pengeboran di kedua gunung. Sampel pun diambil.
Sebagai awal, Gunung Padang menjadi proritas. Di gunung ini ada punden
berundak, situs megalitikum terbesar di Asia Tenggara. Dari hasil pengeboran,
sejumlah sampel tanah dan materi lain kemudian disodet, dan dimasukkan ke
plastik bening, untuk penelitian carbon dating.
Hasilnya mencengangkan. Batuan di dalam gunung itu bukan batuan biasa.
“Itu man-made, buatan manusia,” ujar Hilman.
Hasil pengujian carbon dating, menyatakan
kemungkinan batuan di sana berusia 4.700 tahun Sebelum Masehi.
Danny yakin batuan itu bukan karena alam. “Bahkan sampai di kedalaman 25
meter, iniman-made (buatan
manusia)," ujar Danny.
Tak hanya itu. Susunan bangunan batu di
dalam gunung itu, kata Danny, diduga sudah mengenal teknologi perekat dalam
konstruksi bangunan. "Ini semacam semen purba," ujar Danny,
memperlihatkan sebuah lapisan terletak di antara susunan batu.
Andang juga menambahkan tentang pasir yang dia temukan itu. “Bisa jadi pasir
ini adalah teknologi tahan gempa. Mungkin ada bekas yang masih bisa
dipelajari," ujarnya.
Menurut Danny, di Gunung Padang, sudah hampir dua per tiga bagian gunung itu
diambil sampelnya. Hasilnya persis seperti uji geolistrik dan georadar yang
dilakukan sebelumnya. Ada semacam struktur bangunan di dalam gunung itu.
“Dengan dua per tiga bukit ini buatan manusia, berarti teknologi konstruksi
nenek moyang sudah luar biasa,” ujar Danny.
Bukan berburu piramida
Situs Gunung Padang bukanlah temuan arkeologi baru. Peneliti Belanda N.J Krom
pernah menulis soal punden berundak ini pada 1914. Selanjutnya, R.P. Soejono
menjadi peneliti Indonesia pertama meneliti situs ini pada 1982.
Gunung Padang baru menarik perhatian
media setelah diteliti oleh Tim Bencana Katastrofi Purba, yang difasilitasi
Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana, Andi Arief. Ada pun
Danny Hilman dan Andang Bachtiar adalah anggota tim ini.
Tim peneliti ini mulai disorot saat meneliti Gunung Sadahurip di Garut, Jawa
Barat, yang diduga sebagian kalangan mengandung bangunan piramida di bawahnya.
Awalnya, soal dugaan piramida di Sadahurip itu pernah diungkap Yayasan Turangga
Seta. Itu adalah lembaga yang peduli kegemilangan sejarah nenek moyang di masa
lalu. Selain Sadahurip, Turangga Seta juga menyebut adanya piramida di Gunung
Lalakon, Soreang, Bandung, Jawa Barat.
Keraguan pun muncul. Apalagi, Turangga Seta dianggap memadukan unsur mistis
dalam pencarian piramida, dengan istilah keren yang mereka pakai: parallel
existence.
Bantahan tajam diungkap oleh ahli geologi, Sujatmiko. Di Bandung, dia
mengatakan bentuk piramida dari Gunung Sadahurip adalah hasil alamiah.
Sadahurip, kata Sujatmiko, adalah gunung jenis cumulo dome yang terbentuk dari
aliran lava, batuan intrusif, dan piroklastik. Pro dan kontra pun kian ramai.
Danny Hilman tentu saja tersengat. Meskipun tak pernah mengatakan ada piramida
secara eksplisit di Sadahurip, tapi Tim Katastrofi Purba memang pernah meneliti
di gunung itu.
Tapi Danny mengatakan tujuan tim
bukanlah mencari piramida. Mereka meneliti siklus bencana, yang terjadi di
nusantara sejak masa lalu. Dalam penelitian itu, tim juga menelisik jejak
peradaban lama yang musnah akibat bencana. Itu penting, kata Danny, agar pola
mitigasi bencana dipahami. "Tim ini terbentuk, bukan dibentuk. Kami
juga hanya difasilitasi dalam melakukan penelitian ini," ujar Danny
Hilman.
Itu sebabnya, mereka menelisik dari Banda Aceh di ujung Sumatera, Batujaya di
Karawang, dan Trowulan di Jawa Timur. Temuan sejumlah penelitian itu
membuat para peneliti itu percaya ada peradaban tinggi di Indonesia di
masa lalu. “Raflles pernah bilang, kerajaan di Sumatera dan Jawa lebih mundur
dari pendahulunya,” ujar Danny, mengutip Sir Thomas Raffles (1781-1826),
Gubernur Hindia Belanda di abad ke-19.
Lalu mengapa memilih Gunung Padang?
Gunung Padang, kata Danny, adalah 'kompleks bangunan' besar terletak di dekat
patahan Cimandiri, sebuah patahan aktif. Sebagai bekas peradaban megalitikum,
mereka ingin melihat adakah bencana purba menghancurkan peradaban di gunung
itu. Pengeboran di Gunung Padang dilakukan setelah hasil survei geolistrik,
geomagnet, dan georadar. Hasilnya: ada tanda-tanda tak alamiah di bawah
permukaan Gunung Padang.
"Mungkin selama ini arkeolog meneliti berdasarkan 'what
you see is what you get'. Tapi di geologi berbeda. Kami harus melakukan
pengeboran agar mendapatkan apa yang tak terlihat di permukaan," kata
Danny Hilman.
Andang Bachtiar mengatakan tak begitu
peduli anggapan orang yang menyebut timnya mencari piramida. "Masih
terlalu dini juga menyebut piramida," ujarnya, sambil terus mengamati
materi terkandung dari hasil pengeboran.
Andang berharap penelitian lanjutan akan terus dilakukan di Gunung Padang.
"Ini memang dari dana kami sendiri, karena itu hasilnya masih terbatas.
Alat yang digunakan pun masih pinjaman, karena itu hanya bisa mengebor sampai
kedalaman sekitar 25 meter," tutur peraih gelar Master of Science dari
Geology Department, Colorado School of Mines di Amerika Serikat pada 1991
ini.
Struktur piramida?
Untuk menjernihkan pelbagai tudingan, Danny Hilman dan Andang Bachtiar
mengungkap hasil penelitian Tim itu pada acara diskusi di Gedung Krida Bhakti,
Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa, 7 Februari 2012. Di acara ini, keduanya
memaparkan tujuan, metode, dan hasil penelitian awal mereka .
Dikatakan, hasil survei georadar, geolistrik dan geomagnet di Gunung Padang
diketahui adanya struktur bangunan besar dan masif. Ini juga terbukti
dengan pengeboran geologi. "Kami menemukan struktur batuan hingga
kedalaman 20 meter. Ada seperti sesuatu yang dipangkas," kata Danny
Hilman.
Andang Bachtiar mengatakan hal serupa, "Ini constructed. Dari kedalaman 18
meter ke atas, ini merupakan bangunan. Jadi bukan sesuatu yang natural."
Di acara diskusi ini, tim kemudian menyorot teknologi konstruksi bangunan.
Sebelumnya, ada dugaan batu itu
terbentuk secara alami dari proses vulkanik, yaitucolumnar
joint basalt.
Tapi menurut Andang, dugaan itu gugur. Soalnya, columnar
joint basalttidak
ditemukan di sekitar situs Gunung Padang.
Hal menarik lain dari penelitian tim itu adalah cara bangunan ini disusun. Dari
temuan bebatuan yang menjadi pemisah Teras 1 dan Teras 2, terlihat ada bahan
perekat menyambung bangunan. "Ini bukan pelapukan andesit, tapi semacam
semen purba," Andang menambahkan.
Ada dugaan kuat, jika bangunan purba itu menerapkan semacam teknologi penahan
gempa. Ini terlihat dari adanya lapisan buatan yang materinya adalah pasir.
"Ini hasil ayakan sangat halus, dan jelas bukan terbentuk secara
alami," jelas Andang. Pasir ditemukan dalam satu lapisan, di kedalaman 8
hingga 10 meter. "Ini seperti teknologi yang mampu menahan gempa".
Tim Bencana Katastrofi Purba kemudian menjelaskan hasil carbon
dating yang
dilakukan terhadap sisa akar tanaman dan sisa arang bekas pembakaran, yang
didapat dari hasil pengeboran. Menurut Danny Hilman, hasil carbon
dating memperlihatkan
bahwa situs Gunung Padang berasal dari 6.700 tahun lalu. "Berarti sekitar
tahun 4.700 Sebelum Masehi," tutur Danny.
Jika hasil carbon dating itu tepat, hasil ini
terbilang menakjubkan. Artinya, di masa prasejarah, sudah dikenal teknologi
bangunan maju di wilayah nusantara. "Ini seperti Machu Picchu, di Peru.
Tapi ini berasal dari abad yang jauh lebih tua. Bisa jadi teknologi Machu
Picchu juga berasal dari sini," kata Danny menambahkan. Machu Picchu
diperkirakan berasal dari abad 14 atau 15.
Ilmuwan lain menyambut baik temuan Tim itu. Arkeolog Universitas Indonesia, Ali
Akbar, misalnya, mengatakan perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk melihat
konteks hasil pengeboran dengan lapisan budayanya. "Ambil sampelnya di
mana, kedalaman berapa ditemukan pasir itu. Apa ada hal serupa di titik lain.
Ini perlu diketahui lagi untuk mengetahui konteks lapisan budaya dengan
bangunannya," ujar Ali Akbar. "Sebaiknya dicek lagi di teras
lain," lanjutnya.
Harta karun
Dugaan tentang struktur apa yang dikandung di Gunung Padang menarik
didiskusikan. Ahli kompleksitas Hokky Situngkir, yang berbicara di seminar
tersebut, menyebut adanya kemungkinan bentuk piramida kecil di Gunung Padang.
Dengan metode kompleksitas, Hokky mencari dugaan keterkaitan Gunung Padang
dengan situs megalitik lain.
Dari perspektif Arkeo-Geografi, Hokky mereka-reka suatu struktur piramida kecil
yang dapat dicocokkan dengan lanskap geografis Gunung Gede. Struktur piramida
ini sendiri sekarang terlihat reruntuhannya di Teras 1, yang ada di Gunung
Padang.
Mengenai bentuk piramida, perdebatan masih mencuat: apakah Gunung Padang
bukit buatan berbentuk piramida (piramidal), atau ia hanya struktur bangunan
akibat kontur geografis gunung yang terbentuk secara alami.
Danny Hilman menyebut Gunung Padang adalah man-made hingga kedalaman 20
meter. Namun, kesimpulan ini dibuat dengan catatan pengeboran baru dilakukan
hingga kedalaman sekitar 25 meter. Danny yakin bukit ini tak terbentuk alamiah.
"Ada yang bilang ini gunung purba, tapi saya melihat tidak ada intrusi
magma," ujar Danny.
Beda pendapat dengan Danny, geolog Sujatmiko mengatakan Gunung Padang adalah
gunung purba yang terbentuk alami. "Itu gunung purba di bawahnya, dan
bangunan memanfaatkan morfologi, karena mereka ingin di atas," ujar
Sujatmiko. Sayangnya, Sujatmiko tak melakukan riset, hanya dari pengalamannya
mengamati bentukan gunung. "Lagi pula, tak ada temuan piramida di
nusantara selama ini," ujarnya.
Ahli geologi Awang Satyana membantah Sujatmiko. Dia mengatakan struktur punden
berundak punya bentuk sama dengan piramida berjenjang atau step
pyramid.
"Piramida adalah bangunan yang semakin kecil mendekati puncak," jelas
Awang. Dia mencontohkan Borobudur yang juga punya struktur piramida.
Arkeolog UI Ali Akbar juga mengatakan model piramida sudah dikenal sejak masa
prasejarah di Indonesia. "Tapi bukan seperti di Mesir. Di sana kan
bangunan di tanah datar yang ditumpuk ke atas," kata Ali Akbar. "Di
Indonesia bentuknya seperti punden berundak yang biasa ambil lokasi di gunung
alami. Sehingga batu yang dibutuhkan tidak sebanyak yang di Mesir. Jadi lebih
memanfaatkan alam," jelasnya.
Heboh piramida ini juga menarik ahli asing, semisal genetikawan Stephen
Oppenheimer dari Universitas Oxford, Inggris. Penuslis buku laris Eden
in The East ini
pernah mengatakan kawasan nusantara sebagai daerah peradaban tinggi di masa
lalu
Tapi soal piramida, dia mengatakan,
perlu hati-hati. Soalnya, sulit membedakan struktur monumen hasil modifikasi
manusia, dengan struktur geologis oleh alam. "Anda bisa menghabiskan waktu
memburunya dan ternyata kemudian adalah gunung, jelas Anda akan mendapat
malu," lanjut Oppenheimer saat diwawancara Arfi Bambani dari VIVAnews di Bali.
Seperti dijelaskan Andang dan Danny, mereka awalnya ingin mengetahui
keterkaitan bencana purba dengan peradaban di masa lampau itu. “Ada siklus
bencana di masa lalu yang tidak tercatat prasasti atau catatan kuno, dan ini
menghancurkan suatu peradaban,” ujar Andang. “Kami ingin melihat kemajuan
teknologi dan budaya, sehingga tak selalu mulai dari nol.”
Tapi tudingan ke Tim itu toh tak reda juga, termasuk mereka mengincar harta
karun di situs purba. Apa kata Andang? "Kearifan dan ilmu dari masa lalu
yang terpendam di gunung itu, itulah harta karun bagi kita," ujarnya.(np)
Source : VIVAnews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar